Kampungku Surgaku: Mengapa Yatie Memilih Tinggal di Desa

 Kampungku Surgaku: Mengapa Yatie Memilih Tinggal di Desa


> “Di kota aku pernah belajar cepat, tapi di desa aku belajar hidup.” – Yatie Kecik




---

🌾 Pendahuluan: Antara Kota dan Desa, Hati Yatie Memilih yang Sunyi

Banyak orang bermimpi pergi ke kota—gedung tinggi, lampu jalan, kafe, mall, sinyal kencang, dan segala gemerlapnya.
Tapi tidak dengan Yatie.

Ia pernah mencicipi hidup di kota saat kuliah. Tapi setelah lulus, ia pulang. Bukan karena gagal, tapi karena menemukan arti pulang yang sejati.


---

🏡 1. Di Desa, Langit Masih Punya Warna Asli

Di pagi hari, langit kampung Yatie berwarna biru jernih. Di sore hari, jingga mengalun perlahan di balik gunung. Tidak ada gedung yang menutupi matahari, tidak ada asap kendaraan yang menghalangi pandangan.

> “Langit di desa bukan cuma atap, tapi lukisan Tuhan yang berganti setiap hari.”




---

🚶‍♀️ 2. Waktu Bergerak Lebih Lambat, Tapi Lebih Bermakna

Di desa, tidak ada jam kerja kantoran. Tapi itu bukan berarti tidak bekerja. Orang bangun sebelum ayam, dan tidur setelah bintang muncul.

Yatie bisa:

Menyiram tanaman tanpa terburu-buru

Menulis blog sambil duduk di serambi

Menyeduh teh sambil mendengar suara jangkrik


> “Hidup yang pelan membuatku lebih sadar akan setiap detik yang berjalan.”




---

💬 3. Di Desa, Semua Orang Masih Saling Sapa

Yatie menyukai saat ia keluar rumah dan disapa:

“Nak, sudah makan?”

“Yatie, nanti sore ikut rewang ya?”

“Ada kiriman daun pisang buat ibumu.”


Di kota, mungkin kita hanya menatap layar. Tapi di desa, kita masih menatap wajah.

> “Kampung memberiku kehangatan yang tak bisa diklik atau di-scroll.”




---

🌽 4. Rezeki Alam Datang Tanpa Diminta

Setiap minggu, tetangga membawa sesuatu:

Pisang rebus

Singkong goreng

Daun kelor segar


Bukan karena mereka kaya, tapi karena mereka peduli.

> “Di kota kamu beli, di desa kamu diberi.”




---

📵 5. Tak Ada Koneksi Internet yang Kuat, Tapi Koneksi Hati Sangat Kuat

Signal di kampung Yatie kadang hanya satu bar. Tapi justru di situ, ia merasa lebih terhubung:

Dengan dirinya sendiri

Dengan alam

Dengan orang-orang terdekat


Ia menulis, membaca buku fisik, menulis puisi di balik karung pupuk, dan tersenyum untuk langit, bukan layar.


---

🧘‍♀️ 6. Desa Mengajarkanku Tentang Kecukupan

Yatie tak punya banyak baju, tapi cukup.
Tak punya gawai mewah, tapi cukup.
Tak punya followers ribuan, tapi cukup.

Karena ia tak diukur dari angka, tapi dari bahagia yang mengalir pelan-pelan setiap pagi.


---

💖 Kesimpulan: Pilihan Hati, Bukan Mundur dari Ambisi

Tinggal di desa bukan berarti menyerah dari dunia. Tapi tentang menemukan dunia dalam kesederhanaan.

Yatie percaya:

> “Kalau kamu bisa hidup dengan hati yang ringan, di mana pun kamu tinggal, itu surga.”



Baginya, kampung bukan sekadar tempat lahir. Tapi tempat di mana ia benar-benar hidup. Di mana suara burung jadi notifikasi, dan detak jantung jadi irama harian.


---

📸 Bonus Galeri Cerita:

📷 Pemandangan sawah saat fajar

📷 Senyum anak-anak kampung bermain bola plastik

📷 Tangan nenek menggenggam daun singkong



---

✨ Catatan Penutup Yatie:

> "Terima kasih sudah ikut perjalanan kecilku. Kalau kamu membaca ini dari kamar kos di kota, atau dari apartemen di Jakarta, ingatlah: kampung tidak pernah jauh. Ia selalu hidup di dalam doa dan kenangan kita."




---

🔖 Tag:

#kisahyatiekechik #hidupdidesa #kampungsurgaku #sederhanatapiindah #perjalananhati


---

PT SURABAYA SOLUSI INTEGRASI
PT SURABAYA SOLUSI INTEGRASI PT SURABAYA SOLUSI INTEGRASI - JUAL BELI BLOG - JUAL BLOG UNTUK KEPERLUAN DAFTAR ADSENSE - BELI BLOG BERKUALITAS - HUBUNGI KAMI SEGERA

Post a Comment for " Kampungku Surgaku: Mengapa Yatie Memilih Tinggal di Desa"