Kampungku Surgaku: Mengapa Yatie Memilih Tinggal di Desa
Kampungku Surgaku: Mengapa Yatie Memilih Tinggal di Desa
> “Di kota aku pernah belajar cepat, tapi di desa aku belajar hidup.” – Yatie Kecik
---
Pendahuluan: Antara Kota dan Desa, Hati Yatie Memilih yang SunyiBanyak orang bermimpi pergi ke kota—gedung tinggi, lampu jalan, kafe, mall, sinyal kencang, dan segala gemerlapnya.
Tapi tidak dengan Yatie.
Ia pernah mencicipi hidup di kota saat kuliah. Tapi setelah lulus, ia pulang. Bukan karena gagal, tapi karena menemukan arti pulang yang sejati.
---
1. Di Desa, Langit Masih Punya Warna AsliDi pagi hari, langit kampung Yatie berwarna biru jernih. Di sore hari, jingga mengalun perlahan di balik gunung. Tidak ada gedung yang menutupi matahari, tidak ada asap kendaraan yang menghalangi pandangan.
> “Langit di desa bukan cuma atap, tapi lukisan Tuhan yang berganti setiap hari.”
---
2. Waktu Bergerak Lebih Lambat, Tapi Lebih BermaknaDi desa, tidak ada jam kerja kantoran. Tapi itu bukan berarti tidak bekerja. Orang bangun sebelum ayam, dan tidur setelah bintang muncul.
Yatie bisa:
Menyiram tanaman tanpa terburu-buru
Menulis blog sambil duduk di serambi
Menyeduh teh sambil mendengar suara jangkrik
> “Hidup yang pelan membuatku lebih sadar akan setiap detik yang berjalan.”
---
3. Di Desa, Semua Orang Masih Saling SapaYatie menyukai saat ia keluar rumah dan disapa:
“Nak, sudah makan?”
“Yatie, nanti sore ikut rewang ya?”
“Ada kiriman daun pisang buat ibumu.”
Di kota, mungkin kita hanya menatap layar. Tapi di desa, kita masih menatap wajah.
> “Kampung memberiku kehangatan yang tak bisa diklik atau di-scroll.”
---
4. Rezeki Alam Datang Tanpa DimintaSetiap minggu, tetangga membawa sesuatu:
Pisang rebus
Singkong goreng
Daun kelor segar
Bukan karena mereka kaya, tapi karena mereka peduli.
> “Di kota kamu beli, di desa kamu diberi.”
---
5. Tak Ada Koneksi Internet yang Kuat, Tapi Koneksi Hati Sangat KuatSignal di kampung Yatie kadang hanya satu bar. Tapi justru di situ, ia merasa lebih terhubung:
Dengan dirinya sendiri
Dengan alam
Dengan orang-orang terdekat
Ia menulis, membaca buku fisik, menulis puisi di balik karung pupuk, dan tersenyum untuk langit, bukan layar.
---
6. Desa Mengajarkanku Tentang KecukupanYatie tak punya banyak baju, tapi cukup.
Tak punya gawai mewah, tapi cukup.
Tak punya followers ribuan, tapi cukup.
Karena ia tak diukur dari angka, tapi dari bahagia yang mengalir pelan-pelan setiap pagi.
---
Kesimpulan: Pilihan Hati, Bukan Mundur dari AmbisiTinggal di desa bukan berarti menyerah dari dunia. Tapi tentang menemukan dunia dalam kesederhanaan.
Yatie percaya:
> “Kalau kamu bisa hidup dengan hati yang ringan, di mana pun kamu tinggal, itu surga.”
Baginya, kampung bukan sekadar tempat lahir. Tapi tempat di mana ia benar-benar hidup. Di mana suara burung jadi notifikasi, dan detak jantung jadi irama harian.
---
Bonus Galeri Cerita:
Pemandangan sawah saat fajar
Senyum anak-anak kampung bermain bola plastik
Tangan nenek menggenggam daun singkong---
Catatan Penutup Yatie:> "Terima kasih sudah ikut perjalanan kecilku. Kalau kamu membaca ini dari kamar kos di kota, atau dari apartemen di Jakarta, ingatlah: kampung tidak pernah jauh. Ia selalu hidup di dalam doa dan kenangan kita."
---
Tag:#kisahyatiekechik #hidupdidesa #kampungsurgaku #sederhanatapiindah #perjalananhati
---
Post a Comment for " Kampungku Surgaku: Mengapa Yatie Memilih Tinggal di Desa"